#Cerpen — Pastikan Menunggu

bojabojaku
5 min readSep 5, 2022

--

Ayi memang nggak pernah bilang warna favoritnya kuning, tapi jaket kesayangannya yang selalu tersampir di bahu dari semenjak SMA sampai kuliah menjelaskan semuanya.

Warnanya kuning mentereng dengan patch-patch warna hitam dan biru menghiasi.

Ayi juga nggak pernah bilang mau dipanggil ‘Ayi’ karena nama aslinya ‘Ari’, namun dia nggak sekalipun keberatan atas panggilan itu. Paling hanya berdecak, itu pun karena malas disuruh-suruh.

‘Ayi, tolong matiin lampu atas.’

'Ayi, ambilin tas di mobil, dong, tolong.’

Ayi juga nggak pernah cerita di umurnya yang ke-21, ternyata dia dengan gagah berani memperkenalkan pacarnya yang berumur 28 tahun ke ayah dan bunda. Bundanya saat itu nyaris pingsan di tempat.

“Tekuk aja tuh muka sampe kelipet empat.”

Ayi mengalihkan pandangannya dari teve sejenak, menyadari kehadiran kakak sepupunya yang baru datang jauh-jauh dari luar kota ke Jakarta.

“Makan, mbak,” tawarnya saat itu tengah menikmati semangkuk indomie rebus, lalu menonton teve dengan raut wajah yang sulit ditebak.

“Katanya lagi diet?” ujarku singkat.

“Apaan diet?”

Ayi nggak pernah bilang kalau waktu bergerak dengan cepat. 2011 lalu Ayi masih berbentuk seorang bocah kecil yang takut naik bebek air di Ancol. Kini suaranya berat, ada dua lubang tindik di masing-masing telinganya.

“Kenal di mana sih, Yi?”

Ayi tahu maksudku apa.

“Mba,” katanya dengan mata malas menatap. “Pembukaan dulu kek. ‘Yi apa kabar?’, ‘kuliah gimana, Yi?’, ‘skripsi udah sampe mana?’ Gitu kek, mba.”

“Kamu keliatan sehat, jadi gausah mba tanyain lagi. Kamu udah mulai skripsi, mba liat update-anmu di instagram. Dan kamu lebih milih ditanyain soal skripsi daripada soal ‘itu’?”

“Iya.” jawabnya mantap

“Wuih…” aku berdecak kagum. “Complicated banget ya emangnya, Yi?”

“Tuh, ah, males lah.”

Anaknya meloyor ke arah dapur dan hampir kukira dia nggak bakal kembali lagi karena ngambek.

Nyatanya, Ayi tetap kembali dengan sekantung snack di tangan.

“Mba bawa ini dari Cirebon?” senyumannya lebar. Kerupuk Melarat favoritnya mana mungkin aku lupakan.

“Iya. Mba beliin di pasar. Katamu kalo yang di Batik Trusmi rasanya manis banget. Mba bela-belain tuh ke pasar.”

Ayi tersenyum dan pipinya mulai menggemuk dilihat-lihat. Kayaknya walaupun skripsi, tapi hati tetep gembira nih. “Makasih ya, Mba.”

“Apa sih yang nggak buat Ayi?”

“Nggak usah nanya yang tadi, bisa?”

Aku tertawa keras. Bisa aja lagi nih anak.

Ayi, Ayi. Mau setinggi apapun kamu, mau sedewasa apapun kamu, imej Ayi di tahun 2011 adalah versi yang akan selalu melekat di kepalaku sampai kapanpun. Kamu tetep anak umur 10 tahun yang takut kecemplung di laut Ancol yang aromnya nggak banget itu.

“Tapi udah ngomong lagi sama Bunda kan?”

Ayi mengangguk singkat. “Udah. Tapi ya gitu.”

“Gitu gimana?”

"Ya gituuu...mba tau kan bunda gimana."

"Nggak bisa dia lama-lama diem-dieman sama kamu."

"Nah itu tau."

"Emang gimana sih ceritanya? Kok bisa jadi gitu sih, Yi?"

Ayi diam.

Diam seribu bahasa yang membuat suasana lebih horor daripada film Pengabdi Setan 2.

"Ya udah.” Aku menyandarkan kepala ke kursi sofa di belakang. Tak mau memaksakan, karena bagaimana pun Ayi yang sekarang adalah Ayi yang sudah tahu segala tindak tanduk dari perilaku maupun keputusannya.

"Ketemu di acara temen," buka Ayi tanpa disangka.

Aku masih menatap lurus dan di sudut mataku terlihat Ayi sedang berusaha mengumpulkan kata-kata—lewat tangannya yang tak bisa berhenti memainkan remahan kerupuk.

"Awalnya cuma dikenalin, jadi temen nongkrong bareng. Terus aku kan ikut temen ngerjain projek foto-foto gitu lah. Kebetulan sama Tya juga. Ya udah, karena sering ketemu...ya gitu."

Kata favorit Ayi kalau nggak mau jelasin terlalu detail: 'ya gitu'.

Tapi bagiku, 'ya gitu'-nya Ayi lebih dari cukup untuk menggambarkan bahwa, ya, cinta nggak memandang umur, dan ya, Ayi jatuh hati setengah mati dan setengah hidup sama perempuan ini.

Percintaan anak muda, memang siapa sih yang paham?

"Oh."

Ayi menoleh. "He eh, 'oh'." Katanya sarkas.

"Mba paham kok."

"Kasih paham sama keluarga yang lain kalo gitu, mba."

"Berani bayar berapa?"

Mulutnya langsung manyun. "Entar, kalau duit projekku udah turun, aku bayar mba buat bilang ke orang rumah tuh. Ada-ada aja, lagian aku juga udah gede kali. Masa iya, sampe pacarnya siapa mau diatur juga."

Aku nggak berani tertawa di depannya, tapi oke, Yi, mba ngerti lah.

Aku sempat lihat juga foto-foto mereka yang nggak sampai lima buah di akun instagram Ayi. Perempuan dengan paras cantik dan kulit cokelat nan manis ini mejeng dengan berbagai pose di samping sang pemilik akun. Senyumannya yang lebar beserta sederet gigi putih rapi membuatku sadar, jarak umur mereka menghasilkan hubungan layaknya sebuah jembatan tipis yang mudah terguncang angin namun terikat kuat di kedua sisinya. Tidak akan lepas.

Aku tidak akan pernah tahu bagaimana persisnya kejadian saat Ayi memperkenalkan Tya di depan Bunda dan Ayah. Aku juga nggak sampai hati mau membayangkan apa yang dua sejoli ini rasakan di saat itu.

"Tujuh tahun mah nggak jauh-jauh banget sih, Yi."

"TUH!!" Ayi melompat dari sofa, layaknya orang yang baru saja mendapati klub sepak bolanya mencetak gol emas. Kerupuk pun tak terhindar jatuh telungkup ke lantai.

"Sori, sori." Ayi buru-buru memelankan suaranya dan memungut 3 kerupuk melarat yang terkulai tak berdaya.

"Tuh, bener kan. Orang pada lebay aja, mba. Udah kayak macarin kriminal."

But, boy, sometimes love is a crime.

Ayi berapi-api saat menjelaskan kalimat demi kalimat. Pembelaan yang terdengar sangat manis melantun dari mulutnya tanpa henti.

"Tya tuh orang baik, mba. Apalagi sama temen-temennya. Pernah nggak mba ngeliat orang nyewa hotel karena tiga temennya mabok dan malah tidur di kosan Tya? Nggak kan?

"Pernah juga ketemu sama orang yang minggu kemarin handphone-nya masih iphone, terus tiba-tiba minggu ini dia bilang nggak punya handphone karena digadaian demi minjemin uang ke temennya yang lagi butuh duit.

"Mba, Tya itu orang baik. Bukan sembarang cewek, mba. Ayi belum pernah ketemu sama orang kayak Tya."

Yi, kamu pernah nggak lihat orang menjelaskan sesuatu dengan emosi mengalir deras? Ya, itu kamu Ayi. Mata kamu ikut bercerita dan aku bisa merasakan kehadiran Tya di setiap sudut dan dinding ruangan ini.

Aku cuma tersenyum mendengar runutan kisah tentang Tya. Ayi mungkin belum banyak bertemu orang di usianya kini, dan nggak akan pernah bisa bertemu dengan semua orang.

Tapi biarlah Ayi selalu dipertemukan dengan orang-orang yang menyayanginya, mengasihinya dengan sepenuh hati, supaya jika suatu saat Ayi terluka oleh sebuah pertemuan dengan seseorang yang tidak disangka, maka biarlah Ayi ingat bahwa masih banyak orang baik yang bisa bersinggungan dengannya di perjalanan nanti.

Jalan masih panjang, Ayi. Jalan masih sangat panjang.

"Yi."

"Hmm?"

Tatapanku melekat pada mata yang tak memandangku balik saat dipanggil. Sebuah kebiasaan yang cukup buruk tak lantas hilang karena umurmu 21 tahun, Yi.

"Pastikan orang bisa menunggu, ya."

"Hah? Maksudnya?"

Aku tak menjawab.

"Ambil sapu dulu sana, Yi. Nanti banyak semut."

--

--

bojabojaku
bojabojaku

Written by bojabojaku

"Everyday is like a battle, but every night is like a dream" Writing to heal.

No responses yet