#Cerpen — Kastara Part 3

bojabojaku
3 min readMar 25, 2021

--

𝘙𝘦𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳 𝘸𝘩𝘦𝘯 𝘗𝘢𝘮𝘶𝘯𝘨𝘬𝘢𝘴 𝘴𝘢𝘪𝘥:

𝘖𝘳 𝘮𝘢𝘺𝘣𝘦 𝘸𝘦’𝘳𝘦 𝘵𝘢𝘬𝘪𝘯𝘨 𝘢𝘭𝘭 𝘵𝘩𝘦 𝘳𝘪𝘴𝘬𝘴

𝘍𝘰𝘳 𝘴𝘰𝘮𝘦𝘵𝘩𝘪𝘯’ 𝘵𝘩𝘢𝘵 𝘪𝘴 𝘳𝘦𝘢𝘭

Hari Sabtu, tepat sehari sebelum tanggal 14 Februari, ketika semua orang lagi dipenuhi aura menye-menye perihal pernyataan cinta, gue malah bertekad untuk menyelesaikan apapun yang berkaitan dengan Kastara Nalendra. Itu absolut.

Entah dapet wangsit dari mana, tiba-tiba jam 4 pagi gue bangun dan ngide pakai training spack pemberian Raten 2 tahun lalu. Warnanya kuning stabilo super duper gonjreng.

Biar lo nggak ketabrak kalo lari pagi, La. Masalahnya badan lo tipis, takut nggak keliatan. Gue nggak mau lo mati muda.’ Raten pernah berkata saat ngasih ini sebagai hadiah ulang tahun. Body shamming ala Raten tuh khas banget dan kalau didengar orang lain bisa tembus ke hati, ke usus dan sampe ke telapak kaki. Tajem banget.

Mungkin itu juga kali ya yang menjadikan mental gue sekuat baja. Mau dikatain apapun gue belaga budeg aja. Dan mungkin juga ada hal lain yang membuat mental gue nggak lembek kayak permen yupi.

Di sepanjang perjalanan acara lari pagi gue hari ini, gue menemukan sepenggal memori lucu tentang Kastara di semester-semester awal. Lupa tepatnya semester berapa, tapi cukup membekas sampai sekarang.

Cukup membuat gue tersenyum sendiri.

Gue perhatiin lo selalu pake baju garis-garis horizontal ya, La.

Soalnya gue kurus, Tar,” sahut gue berusaha santai, padahal dalam hati sewot. Ngapain pula nih orang merhatiin sampe ke baju-baju gue. Kayak pacar. Eitss! “Lo kalo liat isi lemari gue semua baju gue modelan kayak hahaha

Mata Kastara masih terpaku pada gue di saat kalimat itu selesai terucap. Well, have I ever told you, Kastara Nalendra tuh kalau natap orang udah kayak mau makan orang bulat-bulat. Tatapannya dalam sekaligus menghantarkan beberapa makna yang sulit orang lain tangkap. Dan jangan lupa, di tengah-tengah bicara dia suka tiba-tiba senyum. Nggak tau deh kapan. Setting-annya kali udah dari sana kayak gitu.

Jangan ditanya lagi perasaan gue kayak gimana setiap kali dia seperti itu. Kalau gue bisa salto, gue lebih memilih sikap lilin aja.

Dulu gue juga punya banyak baju garis-garis.”

Gue bingung harus merespon seperti apa. “Oh, tapi lo kan nggak kurus, Tar?

Nggak harus kurus juga kali kalo mau pake baju kayak gitu, La.”

Iya juga sih.” Sesaat gue merasa gue sangat tolol telah berkata seperti itu.

Apalagi ketika besoknya Kastara Nalendra muncul di ambang pintu kelas, mengenakan baju garis hitam putih.

Tar, jujur, lo nggak perlu segininya memperlakukan gue sih.

Selagi kenangan itu mulai memudar — menjauh, gue menambah kecepatan langkah kaki gue. Rasa terbakar di kaki mulai menjalar ke syaraf-syaraf paha. Paru-paru gue terpaksa mengambil oksigen sebanyak-banyaknya, seolah ini hari terakhir gue bernapas.

Seolah sejak hari di mana Kastara dengan bangganya menunjuk kaus yang dikenakannya dan bilang “La, kembaran kita”, gue pikir sebagian napas gue telah terambil sedikit demi sedikit. Tar, berjuang dengan napas yang tidak banyak itu adalah siksa dunia.

Halah, puitis banget gue kalo pagi-pagi. Seharusnya gue masuk jurusan sastra aja kalo gini caranya.

Setelah sepuluh menit, langkah gue pun melamban.

Raten memang benar saat dia bilang gue tidak tercipta untuk menekuni olahraga apapun, bahkan lari keliling lapangan satu kali aja gue gampang capek. Beda banget sama sahabat gue yang sudah dari SMA adalah bintang olahraga meskipun rokoknya nggak pernah absen.

Yah, bisa jadi itu juga alasan kuat kenapa gue nggak bisa lari jauh-jauh dari Kastara Nalendra. Pun lari dari kenyataan dia tidak akan pernah jadi milik gue.

Setan banget hidup ini memang.

--

--

bojabojaku
bojabojaku

Written by bojabojaku

"Everyday is like a battle, but every night is like a dream" Writing to heal.

No responses yet