#Cerpen — Kastara Part 1

𝘙𝘦𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳 𝘸𝘩𝘦𝘯 𝘗𝘢𝘮𝘶𝘯𝘨𝘬𝘢𝘴 𝘴𝘢𝘪𝘥:

𝘐 𝘸𝘢𝘯𝘵 𝘺𝘰𝘶 𝘵𝘰 𝘵𝘩𝘦 𝘣𝘰𝘯𝘦, 𝘐 𝘸𝘢𝘯𝘵 𝘺𝘰𝘶 𝘵𝘰 𝘵𝘩𝘦 𝘣𝘰𝘯𝘦…

𝘐𝘺𝘢, 𝘐 𝘸𝘢𝘯𝘵 𝘺𝘰𝘶 𝘵𝘰 𝘵𝘩𝘦 𝘣𝘰𝘯𝘦, 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘦 𝘬𝘪𝘢𝘮𝘢𝘵 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘭𝘰 𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬 𝘣𝘢𝘬𝘢𝘭 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘮𝘢.

Kalau ada satu hal yang gue harap bisa gue hapus, gue cuma minta, please, please banget gue boleh jatuh sejatuh-jatuhnya tapi jangan sama orang ini.

Dari segitu banyaknya mahasiswa di kampus ini, masa iya gue langsung suka sama nih orang gara-gara dia ngegenjreng gitar. Konyol banget, pikir gue kala itu. Sesederhana nyanyiin lagu Andra and The Backbone yang judulnya Sempurna, hati gue yang cemen ini tiba-tiba berdebar nggak karuan. Lupa kapan terakhir kali gue merasa se-ABG ini, tapi serius, kayaknya ini orang punya pelet deh.

Gue sejatuh itu.

Bahkan kalau saat itu dia turun dari panggung dan minta hati gue, gue bakal…“nih ambil aja, cuma satu sih, tapi ya udah gue kasih buat lo. Gratis.”

Parahnya lagi, hati yang udah gratis kayak gitu aja masih dianggurin. Sekarang lo tau kenapa gue plas plis plas plis di awal.

Dia bukan orang jahat kok.

Kastara Nalendra adalah orang terbaik yang pernah gue temuin.

Orang yang saking baiknya sampai semua cewek brengsek di luar sana selalu mengakhiri kisah cinta mereka dengan kalimat: “Kamu terlalu baik buat aku, Tara.”

Pengen gue ketok-ketokin emang palanya satu-satu. Bercanda.

Eh tapi nggak apa-apa kalau diseriusin. Gue kebanyakan dibercandain semesta belakangan ini soalnya.

“Gue diputusin lagi.” tiba-tiba dia udah ada di samping gue. Aroma parfumnya yang khas menyambangi hidung gue dengan sopan.

“Hah? Kenapa?” tanya gue kaget. Nggak ada angin nggak ada hujan, Kastara memang paling jago bikin kejutan. Kenapa ini orang nggak kerja di McDonald aja ya?

“Katanya gue terlalu baik.”

Yang diputusin masih bisa ketawa-ketiwi, meski gue tau banget dari nadanya, Kastara Nalendra terluka pake banget. Kadang gue pengen saranin dia jadi orang jahat aja sekali-sekali.

“Tar, gini ya, kadang gue mikir ini lo-nya yang tolol atau dianya yang goblok ya,” kata gue sambil beresin laptop. Sekre jam segini sudah agak horor, ditambah kisah orang yang habis diputusin.

“Maksudnya?”

“Ya, maksudnya, kalo udah tau lo baik ngapain diputusin sih? Pengen gue nasehatin ke pacar lo itu yang namanya… siapa?”

“Damara.”

“Nah, Damara. Iya, pengen gue bilang ‘Goblooook, ya kalo baik lo manfaatin sebaik-baiknya lah kebaikan pacar lo itu. Ngapa diputusin. Kan kayak orang gila lo’. Gitu, Tar.” Ucap gue yang sekarang sudah rampung membereskan seluruh peralatan perang gue. Dengan tas di pangkuan, gue menatap Kastara.

Kastara Nalendra nggak lebih dari seonggok manusia naif yang… entahlah, berapa kali lagi hatinya kuat dibeginikan oleh perempuan.

Kastara menghela napas dan menyandarkan kepalanya di dinding belakang sekre. Kalau saja dia mau sadar sedikit, ada bahu gue yang bisa jadi sandarannya. Kecil emang dan nggak sedikit yang bilang bahu gue tajam nusuk di telinga. Ya, apa sih yang mau lo harapin dari cewek berbobot tubuh 43 kg dengan tinggi 157 cm?

Walaupun begitu, seenggaknya bahu ini pantas untuk lo pakai untuk bersandar, Kastara. Jauh dari nyaman, memang, tapi ini bahu yang tidak mengkhianati, bahu yang bahkan terlalu baik. Sering lo abaikan, lo lewatkan, tapi tetap available. Kurang baik apa lagi coba nih bahu gue, Tar?

“Hahaha jadi kesannya gue dimanfaatin dong, La?”

“Lah, selama ini lo kira apa?” Shit, keceplosan gue. Orangnya sontak nengok. Duh, kan gue udah bilang nih orang kepalang naif, dimanfaatin aja dia nggak sadar.

“Maksudnya, La?”

“Y-ya, gimana ya, emang nggak sadar, Tar?”

“Apanya?”

Detik itu juga gue langsung bangkit dari tempat di mana gue duduk. Tiba-tiba lantai sekre jadi terlalu panas buat pantat gue untuk duduk di sana. Ditambah Kastara yang ngeliatin gue dari atas sampai bawah, bukan dalam konotasi yang buruk. Cuma saja dia bingung. Dan gue bukan orang jahat yang mau blak-blakan tentang kebodohannya itu. Belum waktunya, dan mungkin juga gue bukan orang yang tepat untuk ngasih tau hal ini.

“Anterin gue pulang ke kosan, Tar. Keburu ujan, jemuran gue masih di luar.”

Kastara nampaknya masih mikirin perkataan gue, tapi memilih untuk berdiri. Dia yang tingginya 180 cm agak menunduk melihat gue di depannya. Biasanya gue akan ngomel karena merasa terintimidasi. Namun kali ini tidak demikian.

Tatapan gue jatuh di bahu kanannya, suatu kebiasaan ketika Kastara menatap gue tanpa sepatah kata. Karena, jujur, menatap balik kedua matanya di saat seperti ini bisa jadi kesalahan terbesar dalam hidup gue — juga Kastara.

How much i want to kiss him and make the pains go away.

“La…”

Lo tau rasanya setiap kali Kastara manggil nama gue? Bukan nama lengkap Lalitha Nareswari, cuma dua huruf doang: ‘La’. Rasanya gue mau kabur.

Dan itu yang gue lakuin sekarang.

“Gua balik sendiri aja, Tar. Mau ke indomaret dulu.”

Eksekusi gue memang tidak pernah secantik anggota grup Iz*one. Hufth.