Maling

bojabojaku
4 min readJan 23, 2021

--

Siapa yang tahu sih, insiden maling dekat kostan malam itu malah mempertemukan kita.

Waktu itu malam minggu, dimana semua orang seharusnya memadu kasih dengan sang pacar, aku malah masih terbaring malas di atas kasur, belum mandi dari pagi. Terbayang sudah kucelnya wajahku seperti apa. Tapi siapa yang mau peduli juga. Mau belum mandi dari 1 tahun yang lalu, mau wajahnya kucel atau warna abu-abu, nggak ada yang akan peduli.

Bodoh memang pemikiran itu. Karena sekon selanjutnya, aku benar-benar menyesal.

Seharusnya aku mandi kembang tujuh rupa dulu, pakai baju yang bagus, minimal pakai bedak deh, juga lipstik biar nggak pucat-pucat banget.

Tok! Tok! Tok!

Kentongan dipukul beberapa kali dengan nyaring.

“Maling! Maling! Ada maling motor!”

Kebiasaan orang Indonesia; selain belum mandi dari pagi macam aku ini, ada orang-orang yang mendengar bahaya malah seperti dipanggil untuk makan-makan.

Aku satu di antaranya. Ya ampun.

Sudah nggak tahu lagi pakai sendal apa, seketemunya depan pintu saja langsung disambar. Sudah nggak lihat cermin lagi. Boro-boro.

Sesampainya di luar kostan, ada kerumunan orang namun tak banyak. Beberapa di antaranya warga sekitar; mas warteg dekat kostan, bocah-bocah kecil yang berisik, juga sekelumit penghuni kostanku juga kostan pria di seberang sana.

Gang kecil itu dipenuhi wajah orang-orang bingung sekaligus kepo. Kepingin tahu siapa yang kemalingan, apa yang diambil selain motor, apa mungkin malingnya bersembunyi entah di mana.

“Ngambil motor N-Max tuh. Ngakunya ojek pangkalan, eh taunya maling. Haduh.”

Sepenggal info itu aku dapat dari seseorang yang entah sudah berapa lama berdiri di sampingku. Laki-laki. Aku cuma noleh sepintas. Yah, paling warga atau tukang mie tek-tek yang lagi kebetulan lewat gang ini.

Karena malingnya kabur dan tidak tertangkap, Ketua RT gang sinar pun angkat bicara. Meredakan riuh rendah suara warga yang khawatir.

“Pak, Bu, saya sebagai ketua RT mohon maaf sebesar-besarnya atas ketidaknyamanan malam ini ya. Kami sudah panggil polisi, malingnya sedang dicari. Tapi saya himbau bapak ibu sekalian agar tetap waspada, ya. Kita nggak tau ini maling dari daerah mana, bisa jadi dekat-dekat sini tinggalnya.”

Tiba-tiba rasanya merinding padahal udaranya sedang panas kayak mau hujan. Makin kecil niatku untuk mandi. Membayangkan maling ini bisa saja kembali ke daerah ini. Belum lagi kalau memang punya ilmu hitam seperti di teve gitu lho, yang syuuuut…bisa hilang dalam kerjapan mata.

“Tolong selalu waspada, kunci pintu rumah juga kamar. Gembok pagar rumah agar barang-barang berharga bapak ibu sekalian tidak hilang. Tolong dijaga benar-benar ya. Utamakan keselamatan selalu…”

Ketua RT masih bicara, namun suaranya jadi agak samar ketika kurasakan ada tangan yang memegang pergelanganku.

Ya, aku tentu saja kaget. Tapi pas lihat siapa yang melakukannya, aku urungkan niat itu. Walaupun masih belum mengerti maksudnya apa.

“M-mas…” suara yang keluar dari bibirku terlampau pelan. Yang dimaksud nggak dengar.

“Mas??”

Eh, dia noleh. Lebih tepatnya agak menunduk sih. Mengingat tingginya sudah seperti tiang listrik, aku di sebelahnya pendek banget jadinya.

“Ya?” Dia tanya. Dua kata buat mas ini. Ganteng banget.

Aku menunjuk tanganku yang dipegangnya. “Ini, mas. Tangan saya.”

“Mbak-nya nggak denger tadi yang dibilang ketua RT?” tanya si Mas Ganteng ini sambil mengerutkan dahinya.

“Apa ya, Mas?” duh, aku dan kapasitas otakku yang terbatas ini.

“Malingnya masih di luar sana. Kita harus waspada. Saya pegang tangan mbaknya, jaga-jaga biar nggak hilang.”

Butuh beberapa saat memang untuk mencerna yang dimaksud Mas Ganteng ini. Tapi gagal, keburu mas-nya ketawa lebar, matanya membentuk bulan sabit, dan yang selanjutnya aku rasa adalah pergelanganku kosong.

“Bercanda, Mbak hehehe,” dia menunjuk kostan di belakangku. “Balik aja ke dalam, Mbak. Jangan lama-lama di luar, bentar lagi mau hujan kayaknya.”

Dia tersenyum ramah, pamit sebelum jalan balik ke kostan pria di seberang. “Mari, Mbak.”

Perawakan tingginya yang hanya pakai kaus putih dan celana pendek motif nanas meninggalkan sejuta kebingungan melanglang buana, menimbulkan rasa sesal yang kuhempaskan sedalam-dalamnya ketika melihat pantulan diri di cermin kamar.

Sebelah sandal jepit, sebelah flat shoes, kaus warna biru kelunturan, celana training lusuh warna kuning dengan bercak teh di paha kanan. Rambut berminyak belum keramas, kacamata agak miring pantas tadi pusing. Wajah kucel bagai kilang minyak. Rasanya mau menghilang saja dari permukaan bumi ini.

Tapi apapun itu, setidaknya muncul rasa bangga; tangan yang 3 tahun kosong (alias sudah jomblo selama itu) ini akhirnya ada yang genggam juga. Walaupun kata Mas Ganteng itu cuma bercanda.

Yah, aku berharapnya dia serius sih, ya.

Malam itu, malam minggu. Malam yang seharusnya dimanfaatkan oleh semua orang untuk memadu kasih dengan pasangannya. Ya, beda denganku. Setelah selesai mandi di jam 11 malam, aku malah mengetik pesan serius-setengah-serius pada temanku yang kerjanya di Wedding Organizer.

“Cit, biaya gedung nikahan sama prasmanan 400 pax berapa ya?”

Gila hahaha.

--

--

bojabojaku
bojabojaku

Written by bojabojaku

"Everyday is like a battle, but every night is like a dream" Writing to heal.

Responses (1)